Jurpal, Palembang : Pernyataan pengamat yang menyebut Pilkada Kota Palembang lebih baik tanpa Ratu Dewa dianggap murni sentimen.
Sebelumnya, pengamat Politik, Haikal Afafah mengatakan ketidakhadiran Ratu Dewa menurutnya akan menghilangkan potensi konflik kepentingan antara tugas sebagai pejabat publik dengan kepentingan politik.
“Ratu Dewa seringkali dianggap memanfaatkan jabatannya untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Jika ia tidak lagi menjadi kontestan, maka semua calon akan memiliki peluang yang sama untuk bersaing secara sehat. Calon tidak boleh menggunakan simbol negara untuk kampanye,” Ujar Haikal yang juga merupakan Akademisi Unsri dan Direktur Teras Institut, dikutip dari mattanews.co pada Jumat (2/8/2024).
Menanggapi pernyataan itu, Kurnia Saleh, Ahli Hukum Tata Negara yang sempat viral beberapa waktu lalu sebagai Ahli Termuda Se-Indonesia di Sidang PHPU Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa argumen Pilkada lebih baik tanpa Ratu Dewa merupakan murni sentimen, bukan argumen.
Menurutnya, maju sebagai calon kepala daerah adalah hak konstitusional yang dilindungi oleh Konstitusi, mengkaitkan kehadiran salah satu calon dengan baik buruknya penyelenggaraan Pilkada tidak berdasar dan lemah secara teoritis.
“Saya pikir itu bukan pandangan akademisi, itu pandangan dari masyarakat awam yang perlu belajar banyak. Menyimpulkan Pilkada baik buruknya dari sosok siapa yang maju tertolak secara teoritis dan Yuridis. Dikarenakan pandangan tersebut mengandung makna bahwa Lembaga penyelenggara Pemilu yang nantinya menerima pendaftaran dan menetapkan Ratu Dewa sebagai Calon Walikota dianggap cacat dong. Karena menurutnya, Parameter Pilkada yang Baik adalah tanpa Ratu Dewa,” jelas Kurnia.
Dikatakan Kurnia, dalam Undang-Undang Pemilu maupun Undang-Undang Pilkada sudah menentukan syarat bagi siapapn untuk mengikuti Pilkada.
“Kalau takarannya baik buruk ini ukurannya apa, Like atau Dislike kan dari satu dua orang kan tidak mungkin,” ujarnya.
Kurnia menambahkan, KPU menerima pendaftaran bagi siapa saja yang memenuhi syarat. Hukum tidak menyebut jika kontestan Pilkada wajib mengantongi syarat bahwa semua rakyat harus menyukainya, melainkan hukum hanya mengatur calon mendapat dukungan Parpol.
“Parpol inilah representasi dari suara rakyat. Bahwa kemudian ada yang yang tidak suka, kan bisa memilih calon lain, atau Golput. Tapi jangan sampai menggiring, seakan-akan KPU tidak mampu menyelenggarakan Pilkada dengan baik karena adanya Ratu Dewa, Ini memalukan,” tambahnya.
Apalagi, Ratu Dewa, kata Kurnia, sudah mundur secara terhormat dari ASN yang diartikan Ratu Dewa sudah berani mengambil risiko kehilangan statusnya sebagai ASN.
“Kok bisa bisanya orang tidak ASN lagi dikaitkan dengan ketakutan nanti Ratu Dewa kampanye menggunakan simbol negara, kan tidak nyambung. Padahal kandidat lain kan juga bukan ASN, kenapa hanya Ratu Dewa, kan statusnya sama sama bukan ASN,” tutup Kurnia.